Oleh : Muhammad Irham Fuady, S.H.
(Ketua Bidang Hukum dan HAM HMI Cabang Bulaksumur)
Kali ini publik dikejutkan
lagi dengan adanya tindakan kekerasan terhadap wartawan. Kekerasan itu terjadi terhadap
wartawan ketika terjadi musibah jatuhnya pesawat Hawk 200 di Pangkalan Udara
Roesmin Nurjadin, Riau. Dimana pada saat itu beberapa wartawan sedang
menjalankan tugas jurnalistiknya untuk meliput peristiwa jatuhnya pesawat Hawk
200. Diluar dugaan ternyata beberapa oknum TNI (salah satunya berpangkat Letnan
Kolonel) melakukan tindakan kekerasan terhadap 6 orang wartawan. Bagaimanapun juga
tindakan kekerasan terhadap wartawan tidak dapat dibenarkan, walaupun ada
alasan dari KSAU bahwa hal itu dilakukan untuk melindungi diri wartawan sendiri
karena pesawat tersebut membawa persenjataan yang lengkap dan dapat meledak sewaktu-waktu
serta melukai orang-orang yang ada disekitarnya.
Secara rasionalitas yang
baik seharusnya saat melarang wartawan untuk tidak mendekat, anggota TNI tidak
menggunakan tindakan represif, gunakanlah pendekatan persuasif. Ketika memang
wartawan masih terlihat “ngeyel” silahkan dorong dengan badan atau tangan tanpa
main cekek atau main pukul. Dalam hal yang seperti ini, perlu ditekankan bahwa anggota
TNI harus bisa membedakan perlakuan wilayah sipil dengan perlakuan wilayah
militer. Ketika TNI menghadapi rakyat, jangan menyamakannya dengan menghadapi wilayah
militer. Rakyat biasa akan kelabakan jika dihadapkan dengan militer yang
identik dengan disiplin dan keras. Seharusnya TNI itu bersinergi dengan rakyat
(termasuk didalamnya wartawan), bukan malah menindas dengan kekerasan.
Berdasarkan hukum
positif di Indonesia jurnalis dilindungi dan dijamin oleh UU Nomor 14 tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Jo Pasal 19 UU No 12 Tahun 2005
tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (Covenan On Civil And Political
Right/ICCPR) serta Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Pasal
18 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers menyatakan “setiap
orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan pekerjaan jurnalistik maka
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak
Rp 500 juta".
Setelah banyak orang
mengecam tindakan kekerasan tersebut, Panglima TNI berjanji akan menindak sesuai
dengan aturan para pelaku yang melakukan kekerasan terhadap wartawan. Disini seharusnya
kita ikut berperan serta memantau perkembangan proses peradilan bagi oknum yang
melakukan kekerasan terhadap wartawan tersebut. Jangan hanya dengan kata maap
dan “lipservice” petinggi TNI di media bahwa perkara kekerasan ini akan
diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, kita percaya penuh. Pemantauan itu
tetap diperlukan agar proses peradilan terhadap pelaku kekerasan sesuai dengan
jalurnya dan tidak hanya menguap sampai sidang kode etik. Gejala dan tindakan
kekerasan terhadap wartawan yang kerap terjadi serta berulang ini menunjukkan,
bahwa belum ada pemahaman yang tepat terhadap kerja-kerja jurnalistik yang
dilindungi oleh undang-undang. Akibatnya, tidak adanya efek jera dari para pelaku
kekerasan terhadap wartawan