Sabtu, 30 April 2016

PERNYATAAN SIKAP HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG BULAKSUMUR SLEMAN “PERINGATAN HARI BURUH INTERNASIONAL 1 MEI 2016”

Akumulasi modal dan terpusatnya kekayaan pada segelintir konglomerat seolah menjadi “keharusan” dalam tata ekonomi negara ini. Buruh, dipaksa oleh kapitalisme global menyerahkan sebagian kedaulatannya. Negara lebih tunduk pada tuntutan korporasi  daripada kesejahteraan rakyatnya sendiri. Negara tidak berdaya atas elegi buruh yang saban tahun menyuarakan hak-haknya.

Kebijakan negara menyangkut tenaga buruh pun, didikte kepentingan kapitalisme global. Regulasi tenaga kerja alih daya, tak ubahnya menjadikan buruh “sekrup mesin produksi”. Regulasi ini pun, sampai sekarang tak kunjung diketok jalan keluarnya.

Dilansir dari Kompas, 25 Mei 2015, kekuatan ekonomi sebuah perusahaan multinasional melampaui kekuatan ekonomi negara ini. Perusahaan multinasional macam General Motors, Wal-Mart, Exxon Mobil, Ford Motor, maupun Daimler Chrysler di atas produk domestik bruto Indonesia. Mitsui, Mitsubishi, Toyota Motor, dan General Electric mempunyai kekuatan ekonomi sedikit di bawah negara ini. 

Di era Jokowi, peta kekuatan ekonomi semakin memburuk dengan masuknya korporasi global dari Tiongkok. Sebuah laporan dari Institute for Policy Studies (2000) memperlihatkan kebangkitan spektakuler korporasi global. Pada tahun 1999, seratus kekuatan ekonomi terbesar di dunia terdiri dari 51 korporasi dan 49 negara. Peta jalan ekonomi sesungguhnya sudah memperlihatkan situasi darurat dalam kepungan kapitalisme pasar bebas dan ciutnya negara.

Buruh seharusnya menjadi salah satu spirit petanda kebangkitan ekonomi. Menara Buruh yang seharusnya dikomandoi oleh negara justru memprihatinkan. Pasalnya, regulasi terkait ketanagakerjaan bagi kesejahteraan tenaga kerja cenderung “keropos.” 

Undang-Undang (UU) tentang Ketenagakerjaan No. 13/2003 telah diterbitkan lebih dari 10 tahun yang lalu. Namun, perselihan buruh dengan negara maupun buruh dengan perusahaan tetap tak terelakan. Pemutusan kerja sepihak, tenaga kerja alih daya, maupun sistematika pengupahan merupkanan contoh kecil belum signifikannya kehadiran negara pada permasalahan buruh. Meskipun pemerintah menyatakan berkomitmen untuk menghentikan sistem yang merugikan ini. Nyatanya, Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/ Kontrak  masih bertentangan dengan ketentuan yang ada.

Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 justru menjadi permasalahan yang pelik terkait sistem pengupahan yang tidak adil bagi buruh. Bau anyir kepentingan kapitalisme global sudah cukup menjawab bagaimana regulasi tersebut diturunkan. 

Hal yang utama untuk diperhatikan dari PP tersebut terkait formulasi Upah Minimum (UM) yang penetapannya didasarkan pada UM tahun berjalan ditambah persen inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ini bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa penetapan UM oleh kepala daerah harus memerhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan di daerah masing-masing. Apalagi, penetapan UM menurut PP Pengupahan tersebut dilakukan setiap lima tahun sekali. 

Komponen Kebutuhan Hidup Layak berkaitan dengan perlindungan hak-hak tenaga kerja sesungguhnya diperlukan badan khusus yang didirikan pemerintah dengan melibatkan unsur tripartit. Tidak dengan kondisi selama ini yang pembicaraan tripartit hanya dibicarakan tanpa dalam kelembagaan khusus. Untuk Indonesia, sebagaimana yang dikatakan Silaban (2015) badan ini sangat diperlukan karena bisa dimanfaatkan untuk pengusaha yang banyak kabur meninggalkan kewajibannya.

Sebagai contoh, dilansir dari Litbang Kompas, 29 April 2016, sepanjang triwulan III 2014-triwulan III 2015 tercatat perekonomian tumbuh 4,73 persen. Untuk sektor pertanian, kehutanan dan perikanan hanya 3,21 persen. Pada sisi lain, ada juga sektor-sektor ekonomi yang tumbuh jauh di atas pertumbuhan ekonomi seperti jasa informasi dan komunikasi (10,83 persen) atau jasa keuangan dan asuransi (10,35 persen).

Dari data tersebut, didapatkan sektor usaha yang tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, namun ada juga yang di bawah pertumbuhan nasional. Jika perubahan upah hanya ditetapkan melalui perhitungan inflasi di atas kertas, pada akhirnya buruh akan tetap terbebani dengan persoalan mahalnya kebutuhan hidup yang tak berimbang. 

Ambruknya menara buruh juga sangat relevan dengan kondisi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) serta gempuran tenaga kerja asing dalam pembangunan proyek-proyek insfratruktur yang gencar digalakkan pemerintah. Buruh akan semakin tercekik karena akses terhadap ekonomi semakin jauh dari kata sejahtera.

Dari beberapa hal di atas, maka HMI Cabang Bulaksumur Sleman menuntut kepada pemerintah:
1. Tinjau ulang PP Pengupahan No. 78/2015 terutama sistem pengupahan dan komponen-komponen Kebutuhan Hidup Layak.
2. Kembali perkuat posisi dan fungsi Dewan Pengupahan di tiap-tiap daerah sesuai dengan amanat UU Ketenagakerjaan No. 13/2003.
3. Mewajibkan setiap perusahaan untuk memiliki Serikat Pekerja (SP) dan membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) untuk mencegah konflik hubungan industrial.
4. Mempersiapkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (tenaga kerja) dalam negeri, sehingga dapat berdaya saing dengan tenaga kerja asing.
5. Memastikan perlindungan hak-hak tenaga kerja terpenuhi seperti jaminan sosial, batasan waktu lembur serta hak cuti  terutama cuti melahirkan yang memadai untuk tenaga kerja perempuan.
6. Memberikan perlindungan hukum terhadap pegiat-pegiat ketenagakerjaan dengan tidak melakukan kriminalisasi.
7. Menghentikan segala bentuk tindakan represif aparat penegak hukum terhadap aksi-aksi advokasi yang dilakukan oleh tenaga kerja.

Selamat Hari Buruh Internasional…

Sleman, 1 Mei 2016
HMI Cabang Bulaksumur Sleman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar